Langsung ke konten utama

Pilkada DKI Jakarta 2024: Semua Terbalik, Dukungan yang Menyentuh Paradox

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024 menyisakan banyak kejutan yang seakan membalikkan arus politik dan opini publik. Dalam proses menuju pemilihan, banyak hal yang terjadi bertolak belakang dengan posisi politik yang pernah diambil oleh berbagai kelompok.

Salah satunya adalah sikap beberapa kelompok yang dulunya kontra dengan Jokowi dan Ahok, kini berbalik mendukung calon yang diusung oleh Jokowi, meskipun calon tersebut berasal dari latar belakang yang sangat berbeda dari pandangan politik mereka sebelumnya.

Salah satu fenomena yang paling menonjol adalah bagaimana kelompok yang sebelumnya menentang keras Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena tuduhan penistaan agama, sekarang malah mendukung Suswono, seorang calon yang tengah terlibat dalam kontroversi serupa. Padahal, Suswono yang berasal dari kalangan Muslim, kini mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang dulu mengkritik Ahok habis-habisan dengan alasan penistaan agama.

Ketika yang Dulu Kontra dengan Jokowi, Kini Mendukung Cagub yang Diendorse Jokowi

Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan 2017, Jokowi dan Ahok mendapat banyak kritik dari kelompok yang merasa tersinggung dengan cara Ahok menjalankan pemerintahan, Jokowi dan Ahok dianggap satu paket. Banyak dari kelompok ini merasa bahwa Ahok, yang kala itu beragama non-Muslim, tidak sensitif terhadap ajaran agama mereka. Banyak dari mereka yang bahkan menyerukan aksi besar-besaran untuk menuntut Ahok dipenjara atas tuduhan penistaan agama.

Beberapa kelompok ini, termasuk beberapa tokoh agama dan partai politik, sangat vokal dalam menentang Jokowi yang dianggap membela Ahok.
Namun, situasi tampaknya terbalik di Pilkada DKI Jakarta 2024.

Jokowi kini kembali berperan sebagai pengendali politik besar yang mendukung calon yang diusungnya. Ini adalah cikal bakal munculnya paradoks yang jelas: mereka yang dulu berusaha menggulingkan Jokowi karena dianggap mendukung "penista agama" kini bergabung dengan koalisi yang mendukung calon yang juga punya keterlibatan dalam kasus serupa.

Ahok vs Suswono: Dua Kasus Penistaan Agama yang Tak Sama?

Salah satu perdebatan yang muncul dalam konteks ini adalah mengapa kasus penistaan agama hanya disematkan pada Ahok yang merupakan seorang non-Muslim, sementara Suswono yang terlibat dalam kasus penistaan agama justru mendapatkan pembelaan dari berbagai pihak.

Ahok, seorang Kristen Tionghoa, pernah dihukum penjara karena dianggap menghina agama Islam dalam sebuah pidato yang kontroversial. Meskipun pengadilan telah memutuskan hukuman terhadapnya, banyak pihak yang merasa keputusan tersebut bermuatan politik, mengingat Ahok pada saat itu adalah Gubernur DKI Jakarta yang melibatkan dirinya dalam banyak kebijakan kontroversial.

Di sisi lain, Suswono, seorang Muslim, terlibat dalam sebuah pernyataan yang dianggap menghina agama tertentu, namun ia mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Pembelaan terhadap Suswono tidak hanya datang dari kelompok yang dulu mendukung Jokowi dan Ahok, tetapi juga dari mereka yang sebelumnya sangat vokal menentang Ahok. Ada kesan bahwa penilaian terhadap tindakan penistaan agama tampaknya bergantung pada siapa yang terlibat dan bukan pada substansi dari pernyataan atau tindakan tersebut.

Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa hukum penistaan agama tidak lagi konsisten? Dalam kasus Ahok, banyak orang merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan terlalu berat dan berbasis pada sentimen politik yang mengarah pada perbedaan agama dan ras. Namun, dalam kasus Suswono, pembelaan datang dari berbagai pihak dengan alasan politik yang sama sekali berbeda.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa hukum seringkali tidak dipandang sebagai instrumen yang adil dan objektif, tetapi lebih sering digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu. Ketika penistaan agama terjadi, perdebatan seharusnya tidak hanya berfokus pada siapa yang mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan, tetapi juga pada prinsip keadilan yang sama bagi semua individu, tanpa memandang agama atau ras.

Pilkada DKI Jakarta 2024 menyisakan banyak dinamika yang penuh dengan kontradiksi. Isu penistaan agama, meskipun sangat panas pada masa pemerintahan Ahok, kini seakan hanya menjadi bagian dari narasi politik yang lebih besar. Bagi beberapa kelompok, mendukung atau menentang calon-calon tertentu bukan lagi soal integritas pribadi atau prinsip hukum, melainkan soal kepentingan politik yang lebih luas.

Namun, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan: penistaan agama seharusnya tidak ada kaitannya dengan Pilkada. Politik identitas seringkali menenggelamkan isu-isu yang lebih substansial dalam pemerintahan, seperti pembangunan kota, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Semua ini adalah hal yang seharusnya menjadi fokus utama dalam sebuah pemilihan umum.

Penjarakan Suswono?

Dalam konteks hukum yang tidak konsisten ini, muncul pertanyaan tentang keadilan dalam penanganan kasus penistaan agama. Jika ada bukti yang jelas mengenai penistaan agama oleh Suswono, mengapa ia tidak diperlakukan dengan cara yang sama seperti Ahok? Penegakan hukum yang adil tidak hanya penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap institusi hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa hukum tidak digunakan untuk membenarkan kekuatan politik tertentu.

Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 ini, semua terasa terbalik. Apa yang dulu dipertanyakan dengan keras, kini menjadi sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Politik sering kali berjalan seiring dengan perubahan besar dalam dinamika sosial dan opini publik. Hanya saja, saat kita memasuki masa-masa penuh kontroversi seperti ini, kita perlu lebih bijaksana dalam menilai segala sesuatunya dengan kacamata keadilan dan kebenaran, bukan dengan kacamata kepentingan politik sesaat.

Pilkada 2024 adalah panggung besar untuk menunjukkan apakah Indonesia benar-benar siap untuk mendekati politik dengan cara yang lebih berkeadilan, atau apakah kita akan terus terjebak dalam permainan politik yang penuh paradoks ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FBR Ikut Serta Gerakan Apel Akbar Jaga Jakarta - Jaga Indonesia Suarakan Pemilu Damai

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA, - Ribuan massa dari berbagai organisasi kemasyarakatan di DKI Jakarta berkumpul di Monas, untuk mengikuti giat Gerakan Apel Akbar Para Ulama, Tokoh, dan Masyarakat Jakarta.  Gerakan Apel Akbar tersebut diselenggarakan untuk menyerukan pemilu 2024 berlangsung aman, damai, jujur, dan akuntabel, tanpa intimidasi atau diskriminasi. Komitmen itu disampaikan para Ulama, Tokoh, hingga Pimpinan ormas se-DKI Jakarta dalam apel akbar yang bertema JAGA JAKARTA - JAGA INDONESIA. Sabtu, (27/1/2024)  Gerakan Apel Akbar yang dihadiri 10 ribu anggota ormas dari gabungan ormas se-DKI Jakarta, Forkabi, Laskar Merah Putih, FBR, Kaliber, Jager, PPBNI, Satgas Banten Kesti TTKKDH, GMBI, GMKB, KBPP Polri, menyatakan siap menjaga Pemilu 2024 berlangsung aman dan damai. Turut dihadiri K.H. Yusuf Aman, K.H. Zaenal Arifin, Hamdi Mashuri Mut, K.H ABD Rojak, K.H. Nur Hasan, K.H Mursalih, Kyai Rohimin Himasal, K.H Ahmad Yani, Kyai A Syaikullslam, Kyai Syarif Cah...

KH Lutfi Hakim Menyambut Baik Pembangunan Tugu Golok Cakung

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Golok Cakung berdasarkan SK Gubernur Nomor 91 Tahun 2022 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada masyarakat, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2024 berencana membangun Tugu Golok Cakung yang berlokasi di Jalan Raya Hamengkubuwono IX (dahulu Jalan Raya Bekasi) RT 002/02 Kelurahan Cakung Barat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil rapat pada hari Senin (19/8) di kantor Kecamatan Cakung yang dipimpin oleh Camat Cakung. Turut hadir dalam rapat itu, utusan dari Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Sudin Kebudayaan Kotamadya Jakarta Timur, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Ketua Forkabi Jakarta Timur, Ketua Gardu FBR setempat dan beberapa tokoh Betawi kampung Cakung selaku pemilik, pecinta dan simpatisan golok Cakung. Menurut Kyai Lutfi Hakim, pemilihan lokasi tugu tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah,...

Ini Alasan Kenapa FBR Dukung Paslon Ganjar-Mahfud

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta,- Forum Betawi Rempug (FBR) ada bukan semata-mata karena faktor politik, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan kearifan lokal. Sejak didirikan pada tanggal 29 Juli 2001 silam, FBR tidak ingin kasus yang terjadi pada suku Aborigin di Australia menimpa masyarakat Betawi, atau kasus yang terjadi pada suku Indian di Amerika dialami bangsa Indonesia, sehingga banyak persoalan sosial yang dikerjakan FBR.  Mulai dari pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan sektor ekonomi, mendorong eksistensi kebudayaan Betawi, hingga penguatan masyarakat Betawi di mata hukum. Tidak ada yang lain, selama 23 tahun berdiri FBR masih memiliki satu tujuan, yaitu untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi, yang dahulu tertindas secara struktural ataupun kultural. FBR membuktikan itu, masih dan akan tetap menjadi garda terdepan untuk kepentingan masyarakat Betawi seperti sebuah idiom yang menjadi slogan FBR, yakni "Menjadi Jawara dan ...