SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA,- Bayangkan sebuah pagi yang penuh semangat di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, pada hari Sabtu, 26 April 2025, di tengah riuh rendah kebanggaan dan harapan, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, berdiri menggetarkan hati ribuan pasang mata dalam acara Lebaran Betawi.
Hari itu, bukan sekadar selebrasi tradisi. Jakarta memulai babak baru dalam sejarahnya, mengangkat budaya Betawi sebagai identitas jiwa Jakarta, menuju panggung dunia.
"Saya ingin Lebaran Betawi tidak hanya diadakan di Monas. Saya ingin semarak ini hidup di setiap kota, kabupaten, hingga Kepulauan Seribu," ujar Pramono, suaranya tegas namun penuh kehangatan.
Sebuah pesan sederhana namun menggugah: Lebaran Betawi harus menjadi denyut nadi yang berdetak di setiap sudut Jakarta. Karena di situlah, di dalam tawa anak-anak, dalam sajian kerak telor, dalam lenyap suara gambang kromong, identitas Jakarta ditanamkan dan diwariskan. Tanpa budaya Betawi, Jakarta bukanlah siapa-siapa.
Lebih jauh lagi, Pramono menekankan, kini budaya Betawi tak hanya bernafas lewat kenangan. Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, warisan ini resmi menjadi fondasi masa depan kota. Bukan sekadar pengakuan, tapi panggilan suci untuk membangun Jakarta berakar, berkarakter, bermartabat.
Sebagai penghormatan nyata, Pramono menggagas pembangunan patung M.H. Thamrin di jantung Jalan Thamrin — menghadirkan simbol abadi perjuangan, kecerdasan, dan kebanggaan Betawi.
"Saya tahu betul, M.H. Thamrin adalah pemikir besar Betawi. Saya ingin beliau hadir, nyata berdiri di tengah kita, menginspirasi kita semua," tegasnya, membakar semangat hadirin.
Tidak berhenti di situ. Pramono juga mengusulkan Benyamin Sueb Award — penghargaan untuk kecamatan dan kelurahan yang aktif melestarikan budaya dan membangun lingkungan mereka.
Karena budaya, baginya, bukan hanya kenangan untuk nostalgia, tapi api yang harus terus dinyalakan dengan inovasi dan semangat zaman.
Dalam kesempatan yang sama, Pramono mendorong percepatan Perda Masyarakat Adat Betawi. Dengan suara bergetar antara kesabaran dan ketegasan, menyatakan:
"Kalau tidak segera diselesaikan, saya akan ambil alih sendiri dan menyelesaikannya."
Sebuah janji. Sebuah ancaman. Sebuah pernyataan cinta terhadap kota yang dipimpinnya.
Lebih dari itu semua, Pramono melukiskan mimpi besar, Jakarta harus bertransformasi menjadi kota global — bukan sekadar ibu kota ASEAN, tetapi kota beridentitas kuat, berbudaya luhur, berjiwa Betawi.
Salah satu visinya adalah menyatukan Taman Langsat, Ayodya, dan Leuser menjadi ruang publik representatif.
Taman-taman ini bukan hanya tempat bersantai, tapi oase peradaban baru, ruang perjumpaan budaya, ruang kehidupan yang membanggakan warga Jakarta di mata dunia.
"Jakarta harus punya identitas yang tak bisa digantikan. Gedung ASEAN ada di Jakarta, dan itu akan menjadi simbol abadi," tegasnya lagi.
Lebaran Betawi menjadi ruang silaturahmi akbar, panggung kebanggaan, cermin semangat untuk memperlihatkan kepada dunia siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan melangkah.
Acara itu dipenuhi pertunjukan seni budaya, sajian makanan khas Betawi, tawa, cerita, dan harapan. Namun jauh di balik semua kemeriahan itu, bergema sebuah pesan dalam hati setiap orang:
*Bola Emas di Tangan Masyarakat Betawi*
Tetapi mari kita renungkan sejenak.
Sebuah perjalanan besar tak pernah bisa ditempuh sendirian. Hari ini, ada sebuah bola emas yang melayang di udara —
bola harapan, bola peluang, dan bola masa depan.
Bola itu kini bergulir ke tangan masyarakat Betawi sendiri. Harus digenggam erat, dijaga dan diarahkan menuju kemenangan bersama.
Dalam menghadapi tantangan menjadi kota global, perubahan akan datang dari segala penjuru: ekonomi, teknologi, pendidikan, sosial, budaya. Kompetisi akan semakin tajam. Standar akan semakin tinggi. Dunia hanya akan menghormati mereka yang kokoh berakar, tetapi lentur menari bersama zaman.
Inilah saatnya masyarakat Betawi bersatu dalam bingkai kolektif, menguatkan solidaritas, menciptakan inovasi, dan memperlihatkan pada dunia bahwa kita bukan sekadar warisan, kita adalah kekuatan hidup.
Dengan semangat kebersamaan, masyarakat Betawi dapat membuka peluang ekonomi baru, menginspirasi generasi muda, melahirkan produk kreatif berkelas dunia, dan memimpin perubahan di semua sektor.
Apakah kita siap menangkapnya? Apakah kita siap menggiringnya melewati rintangan menuju gawang kemenangan?
Jika jawabannya adalah ya, maka hari ini di Monas, di bawah langit Jakarta yang membiru —kita tidak hanya memperingati Lebaran Betawi. Kita telah menulis babak baru sejarah.
Kita sedang membangun Jakarta yang mendunia, namun tetap berpijak kokoh di tanah Betawi. Tabik
Komentar
Posting Komentar